Dosen: Aldri Frinaldi, S. H., M. Hum
19700212
199802 1 001
Oleh Dita Anggraini
1101612/2011
Peta Pasaman Barat
wisata alam
pulau panjang
Garis Pantai Pasaman Barat yang mencapai 152 KM menjadikannya salah satu
kawasan pesisir di Sumatera Barat dengan suguhan Pantai - pantai nan
eksotik dan jejeran Pulau -pulau kecil dilepas Perairan Air bangis di
kecamatan sungai beremas. Secara keseluruhan ada 9 pulau yang menghiasi
lautan air bangis 1 diantaranya ialah Pulau Panjang, satu - satunya
pulau yang berpenghuni di perairan Pasaman Barat.
Transportasi
menuju Pulau Panjang dapat menggunakan Bus antar kota dalam provinsi
dari kota Padang atau bukit tinggi menuju air bangis dengan membayar
ongkos sekitar 25.000 rupiah dengan jarak tempuh sekitar 5 atau 6 jam
perjalanan dengan pemandangan perkebunan sawit dan pemukiman penduduk di
sepanjang perjalanan. dari dermaga air bangis perjalanan dilanjutkan
dengan menggunakan perahu nelayan yang dapat anda sewa atau bergabung dengan masyarakat Pulau Panjang yang menjadikan Perahu
sebagai transportasi umum dari Pulau Panjang ke daratan air bangis dan
sebaliknya.
Pulau seluas 220 Ha ini cocok dijadikan wisata bahari andalan di Pasaman
Barat, karena perairannya yang jernih dan tenang serta ditumbuhi
terumbu karang cocok bagi anda pecinta wisata bawah laut. dari segi
insratruktur, fasilitas umum dan sarana prasarana di Pulau ini terdapat
sebuah SD dan SMP yang digunakan anak - anak lokal untuk menimba ilmu
dan mendapatkan pendidikan, namun belum tersedia sekolah setara SLTA di
pulau ini dan anak - anak yang ingin melanjutkan pendidikan ke tingkat
SLTA harus menyebrangi lautan hingga ke daratan air bangis dengan perahu
nelayan. selain itu pada tahun ini (2013) juga telah dibangun
Pembangkit Listrik Mychrohydro sehingga aktivitas dimalam haripun bisa
dilanjutkan di Pulau ini yang membantu anak anak sekolah dalam belajar
ataupun mengerjakan tugas dari sekolah. insfratructur jalan juga telah
tersedia dengan jenis jalan bandes yang menghubungkan dermaga
pulau panjang ke pemukiman penduduk dan Kawasan pondok wisata Pulau
Panjang yang berada di bagian samping Pulau ini.
Daya tarik dari Pulau ini ialah adanya hanggar yang dibangun oleh Dinas
Kelautan dan Perikanan Kab. Pasaman Barat untuk menarik minat wisatawan,
dan bagi anda yang hobi memancing tempat ini cocok untuk menjawab hobi
anda, aktivitas air bisa dilakukan di Pulau ini seperti snorkeling dan
Diving, atau sekedar berenang sambil merelaksasi otot. untuk akomodasi
di Pulau ini tersedia Pondok wisata yang bisa disewa oleh setiap
pengunjung yang ingin merasakan angin malam di pulau panjang.
dan jika anda memiliki waktu lebih sempatkan untuk mengelilingi pulau
pulau lain yang ada di sekitar Pulau Panjang, dan salah satu pulau yang
pantas anda kunjungi ialah Pulau pigago yang hanya berjarak 20 menit
perjalanan dengan menggunakan perahu nelayan, di Pulau pigago anda akan
merasakan Pasir putih nan halus dengan perairan yang jernih , landai dan
tenang.
Jika anda pernah bermimpi untuk menginjakkan kaki di puncak tertinggi di
sumatera barat, maka dakilah puncak Gunung Talamau. Gunung yang berada
di Kecamatan Talamau Kabupaten Pasaman Barat ini merupakan Gunung api
tak aktiv tertinggi di sumatera barat, dengan ketinggian mencapai 2982
Mdpl menjadikannya sebagai puncak tertinggi d isumatera barat.
Keunikan yang ditawarkan Gunung Talamau ialah Keasrian hutan tropis yang
dihuni oleh berbagai jenis hewan seperti, Rusa, Kijang, Tapir dan
Kambing Hutan. dan di puncak gunung ini para pendaki akan menemukan
belasan telaga yang menghiasi areal Padang sirinjano yaitu areal Padang
rumput yang luas yang ditumbuhi dengan Bunga Padi, yaitu bunga khas
Puncak Gunung Talamau.
belasan telaga yang menghiasi puncak gunung talamau dapat dilihat
secara keseluruhan dari Puncak Top yaitu Puncak tertinggi Gunung
Talamau. di Puncak ini juga terdapat sebuah kubah mesjid yang mungkin
merupakan kubah tertinggi di dunia. bentangan alam sumatera barat
terlihat dari puncak ini,, dikejauhan juga terlihat beberapa Gunung yang
ada di sumatera barat.
akses menuju lokasi wisata gunung talamau dapat dicapai melalui Padang
ataupun Bukitinggi dengan menaiki Bus Umum jurusan Simpang Ampek anda
akan berhenti di terminal simpang ampek, kemudian melanjutkan perjalanan
dengan merental mobil ataupun menggunakan ojek ke titik start pendakian
Gunung talamau yang berada di desa Pinaga yang berjarak sekitar 15 KM
dari Ibukota Simpang Ampek. Untuk akomodasi terdapat beberapa penginapan
sekelas hotel melati dan wisma di daerah Padang tujuh ataupun Simpang
Ampek.
paralayang
Wisata minat khusus ataupun
kegiatan olah raga paralayang ternyata juga bisa dilakukan di Kabupaten
Pasaman Barat, olah raga yang mengandalkan kekuatan angin dan kaki ini
sangat cocok dikembangkan di Pasaman Barat. Terdapat beberapa tempat
untuk melakukan wisata minat khusus paralayang di Pasaman Barat seperti
di Bukik Marando, Air Bangis, kec. sungai beremas dan juga di bukit
kawasan batang tongar. di kawasan bukit batang tongar para pecinta
wisata minat khusus paralayang dapat mencoba dan menantang adrenalin
sambil menikmati keindahan alam Pasaman Barat dan bendungan batang
tongar.
Kawasan
ini menawarkan pemandangan alam pasaman barat dengan latar belakang
Gunung Talamau yang menjulang tinggi seakan memagar kabupaten Pasaman
Barat. dari kawasan ini anda dapat terbang mengelilingi udara Pasaman
Barat dengan landasan yang telah disediakan oleh masyarakat setempat dan
berkat dukungan salah seorang putra asli Pasaman Barat yang juga
pecinta olah raga paralayang berusaha mengembangkan olahraga ataupun
wisata minat khusus paralayang di Pasaman Barat.
Wisata Budaya
1.Ronggeng
Ronggeng Pasaman merupakan satu tradisi lisan
Minangkabau yang terdapat di Simpang Empat dan Simpang Tonang, Pasaman Barat,
Sumatra Barat. Tradisi ini berbeda dengan bentuk-bentuk tradisi lisan
Minangkabau lainnya yang sudah umum dan sudah banyak dibicarakan oleh para
peneliti, seperti rabab Pasisie, rabab Pariaman, dendang Pauh, sedawat dulang,
indang, dan si jobang. Perbedaan tersebut sangat dimungkinkan karena daerah
tempat tradisi ronggeng ini hidup merupakan daerah perbatasan antara Sumatra
Barat dengan Sumatra Utara. Masyarakatnya terdiri atas dua suku bangsa, yaitu
Minangkabau dan Batak (Mandailing) dan memiliki dua bahasa pula, yakni bahasa
Minangkabau dialek Pasaman dan bahasa Batak (Mandailing).
Dalam pergaulan sahari-hari, mereka memakai bahasa
Minangkabau dialek Pasaman, atau campuran bahasa Minangkabau dialek Pasaman
dengan bahasa Batak (Mandailing), atau juga bahasa Batak (Mandailing) saja.
Bilamana saja mereka mempergunakan masing-masing bahasa ini tidak begitu
penting dalam pembicaraan ini. Persoalan ini membutuhkan penelitian lebih
lanjut dan tersendiri di bidang linguistik, khususnya sosiolinguistik. Namun
begitu, perlu dinyatakan di sini bahwa kenyataan-kenyataan yang dikondisikan
oleh masyarakat yang terdiri atas dua etnis ini terefleksikan pula dalam
tradisi lisan mereka, seperti dalam ronggeng ini.
Apa Itu
Ronggeng Pasaman?
Ronggeng Pasaman adalah satu tradisi lisan berupa seni
pertunjukan yang terdiri atas pantun, tari atau joget, dan musik. Pantun
sebagai unsur penting dalam tradisi ini didendangkan atau dinyanyikan oleh
seorang penampil `wanita’ atau “ronggeng” sambil berjoget mengikuti irama lagu.
Dengan demikian, penyebutan kata `ronggeng’ mengacu pada dua pengertian, yaitu
ronggeng sebagai satu bentuk seni pertunjukan dan `ronggeng’ sebagai sebutan
untuk pelaku (penampil) `wanita’ yang ahli dalam berpantun.
Ronggeng Pasaman sebagai sebuah seni tradisi mempunyai
fungsi hiburan atau sebagai pelipur lara. Biasanya, seni tradisi ini
dipertunjukkan pada malam hari, mulai pukul sepuluh malam sampai pagi menjelang
Shubuh (kira-kira pukul lima pagi). Tempat pertunjukan, biasanya di lapangan
terbuka atau di pentas yang dibuat khusus untuk pertunjukan dan dipertunjukkan
dalam acara helat perkawinan atau dalam acara peringatan keagamaan, seperti
pada hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha.
Pantun merupakan unsur utama atau unsur inti dari
tradisi ronggeng Pasaman. Jenis pantun yang dibawakan adalah pantun muda-mudi
dan didendangkan atau dinyanyikan mengikuti irama lagu, seperti lagu “Cerai
Kasih”, “Kaparinyo”, “Buah Sempaya”, “Tari Payung”, “Mainang”, “Alah Sayang”
“Sinambang” dan “Si Kambang Baruih”. Dari beberapa irama lagu ini, irama lagu
“Kaparinyo” lebih dominan di Simpang Empat, sedangkan irama lagu “Cerai Kasih”
lebih dominan di Simpang Tonang. Pantun-pantun yang didendangkan atau
dinyanyikan mengikuti irama-irama lagu tadi dilantunkan oleh `ronggeng’ dan penampil
pria, sambil menari dan secara bergantian. Gerak tari yang mereka lakukan
sesuai pula dengan irama lagu yang didendangkan.
Pantun-pantun yang didendangkan atau dinyanyikan
tersebut adalah dalam bahasa Minangkabau dialek Pasaman (di Simpang Empat) dan
campuran bahasa Minangkabau dengan bahasa Mandailing (di Simpang Tonang,
sekarang ini). Perbedaan dalam pemakaian bahasa ini sangat dimungkinkan oleh
letak daerahnya lebih dekat ke perbatasan Sumatra Utara dan dalam pergaulan
sehari-hari mereka lebih sering memakai bahasa Batak (Mandailing) daripada
bahasa Minangkabau dialek Pasaman.
Dari irama lagu dan bahasa yang dipergunakan dalam
tradisi ronggeng Pasaman ini, dapat dikatakan bahwa inilah salah satu contoh
seni tradisi yang ada di daerah perbatasan, yang lahir dan hadir di
tengah-tengah masyarakat dari dua etnis yang berbeda. Kedua bentuk ini pulalah
yang dikatakan sebagai kenyataan-kenyataan yang dikondisikan oleh percampuran
masyarakat dari etnis yang berbeda, yang terefleksikan dalam salah satu seni
tradisi masyarakatnya.
Penampil (pemain) dalam pertunjukan ronggeng Pasaman
terdiri atas satu orang penampil `wanita’ atau “ronggeng”, tiga orang atau
lebih penampil pria, dan lima orang pemain musik. Dengan demikian, penampil
(pemain) dalam ronggeng dapat dibagi tiga, yaitu penampil `wanita’ atau
“ronggeng”, penampil pria, dan pemain musik.
“Ronggeng: merupakan unsur yang terpenting di antara
dua unsur lainnya. Kenyataan itu disebabkan penampil pria dapat berasal dari
penonton, dan pemain musik dapat pula dijabat oleh banyak orang, artinya banyak
orang yang dapat memainkan alat musik. Akan tetapi, tidak semua orang (pria)
yang mahir dan ahli dalam berpantun dan juga tidak semua pria yang berkenan
memakai pakaian dan berdandan seperti wanita.
Seorang “ronggeng” sebagaimana yang sudah dinyatakan
di atas, haruslah seorang laki-laki yang pandai dan ahli dalam berpantun serta
berpenampilan atau berdandan seperti wanita. Oleh karena keharusan ini pula,
maka masyarakat pendukungnya ada yang mengatakan, bahwa makna kata “ronggeng”
itu adalah seseorang yang juara pantun. Seorang juara pantun berarti pula
seorang yang ahli dalam berpantun. Keahlian berpantun ini harus dimiliki oleh
seorang “ronggeng” dimungkinkan oleh kenyataan, bahwa pantun-pantun yang
didendangkan atau dinyanyikan dalam pertunjukan tidak dipersiapkan dari rumah,
tetapi diciptakan dan digubah di arena pertunjukan. Dengan kata lain, pantun-pantun
itu diciptakan dan diubah berdasarkan kondisi yang muncul di arena pertunjukan.
Di samping itu, seorang “ronggeng” juga mempunyai
pamaga diri `pemagar diri’, artinya, seorang “ronggeng” itu mempunyai ilmu
kebatinan. Ilmu ini dipunyai adalah untuk dapat tampil dengan baik, dalam arti
menjaga kemungkinan terjadinya berbagai hambatan selama pertunjukan berlangsung,
terutama berkenaan dengan suara. Pamaga diri `pemagar diri’ ini dimaksudkan
untuk menghindarkan dan menangkis gangguan ketika sedang dalam pertunjukan,
agar tidak ditungkek `ditongkat’ orang lain. Atau, untuk mencegah terjadinya
korek api panungkek lidah `korek api penongkat (penupang) lidah’, yang dapat
menyebabkan suara “ronggeng” menjadi hilang.
Istilah ditungkek atau korek api panungkek lidah
dimaksudkan untuk gangguan yang dikirim melalui batin (magic) oleh orang lain.
Orang lain ini dapat saja berasal dari kalangan penonton, yang mempunyai tujuan
tujuan tertentu dengan jalan suara “ronggeng” tidak keluar ketika tampil.
Akibatnya, “ronggeng” tidak dapat berdendang dengan baik dan pertunjukan tidak
dapat dilanjutkan. Jadi, pamaga diri `pemagar diri’ ini diperlukan untuk
menghindarkan diri dari gangguan orang lain.
Berbeda dengan “ronggeng”, biasanya, penampil pria
berasal dari kalangan penonton. Dengan demikian, siapa saja dapat menjadi
penampil pria dalam tradisi ini. Siapa saja yang dimaksudkan adalah semua pria
yang juga mempunyai kemampuan dalam berpantun. Akan tetapi, kemampuan berpantun
penampil pria ini tidak sebagaimana yang dipunyai oleh “ronggeng”. Mereka dapat
bertanya dan berdiskusi dengan penampil lainnya, ketika mendapat kesulitan
dalam membalas atau menjawab pantun yang didendangkan oleh “ronggeng”. Atau,
ketika sudah tidak dapat lagi mencipta dan menggubah pantun yang akan
didendangkan kepada “ronggeng”, mereka dapat bertanya kepada penonton yang lain
atau penonton yang lain itu membisikinya. Juga, mereka dapat saja berhenti dan
menjadi penonton biasa kembali dan lalu digantikan oleh penonton yang lainnya.
Jumlah penampil pria ini paling sedikit tiga orang.
Satu di antaranya berpantun dan berjoget dengan `ronggeng’ secara bergantian,
sedangkan dua penampil yang lain hanya berjoget saja, secara bergantian pula.
Artinya, penampil pria yang sedang menari berpasangan dengan “ronggeng” lah
yang berkewajiban membalas pantun-pantun yang didendangkan oleh “ronggeng”
tadi. Dan, pantun-pantun yang didendangkan atau dinyanyikan itu bersifat bebas,
tidak membentuk suatu kesatuan cerita.
Pemain musik dalam tradisi ronggeng relatif tertentu,
seperti layaknya anggota sebuah grup seni tradisi. Biasanya, pemain musik ini
paling sedikit terdiri atas lima orang; satu orang menggesek biola, dua orang
memetik gitar, satu orang memukul rebana, dan satu orang lagi memainkan
tamburin. Mereka bermain bersama mengiringi “ronggeng” dan penampil pria
mendendangkan pantun-pantun dengan irama lagu, seperti yang sudah disebutkan di
atas.
Dari awal hingga akhir pertunjukan, para penampil
beristirahat beberapa kali. Jumlah berapa kali mereka beristirahat tidak tentu,
tetapi tergantung pada kondisi suara masing-masing. Biasanya, setiap kali
sesudah istirahat terjadi pertukaran irama lagu. Pertukaran irama lagu ini
dapat pula berganti atas permintaan para penonton (khalayak). Bagi penonton
(khalayak), pertukaran ilu diminta agar pertunjukan tidak monoton dan mereka
tetap bersemangat mengikuti pertunjukan itu sampai akhir.
Dalam pertunjukannya, `ronggeng’ memakai baju kebaya
atau baju kurung dengan selendang diselempangkan di badan atau dikerudungkan di
kepala. Penari pria memakai baju biasa (pakaian sehari-hari) dan kadangkala
memakai selendang yang dililitkan di leher (terutama di Simpang Empat). Begitu
pula dengan pemain musik, mereka memakai pakaian sehari-hari.
Berkenaan dengan penonton (khalayak), ada dua
pandangan terhadap tradisi ronggeng Pasaman ini. Pertama, pandangan dari kaum
tua (dari kalangan agama) yang menganggap bahwa tradisi ini tidak sesuai dengan
Islam. Anggapan itu terutama disebabkan oleh adanya penampil pria yang
berdandan menyerupai wanita. Namun begitu, kalangan tua (agama) ini tidak
sampai melarang tradisi ini dipertunjukkan, dengan syarat tidak dipertunjukkan
di dekat lokasi mesjid, mushala, atau surau, apalagi di dalam ketika tempat
peribadatan ini. Kedua, pandangan dari kaum muda yang menganggap bahwa tradisi
ini hanyalah sebuah dunia hiburan. Oleh karenanya, adanya penampil `wanita’
yang diperankan oleh pria yang berdandan menyerupai wanita bukanlah sesuatu
yang salah. Hal itu justru dapat menghindari terjadinya kekacauan dalam
pertunjukan, karena jika penampil `wanita’ atau “ronggeng” itu diperankan oleh
wanita , maka ketidaksesuaian dengan Islam (juga adat) itu menjadi semakin
bertambah. Tentu saja, semua pria berkeinginan untuk berpantun dan berjoget
berpasangan dengan penampil wanita dalam pengertian yang sebenarnya.
Kedua pandangan di atas menyebabkan khalayak
(penonton) ronggeng Pasaman ini umumnya terdiri atas kaum muda. Kadangkala
juga, di awal pertunjukan dihadiri oleh anak-anak dan para wanita, dan mereka
ini tidak akan bertahan hingga akhir pertunjukan.
Meskipun ronggeng Pasaman ini sudah agak jarang
dipertunjukkan, tetapi ia masih dogemari oleh masyarakat pendukungnya, terutama
kaum muda, sampai saat ini. Dengan demikian, dari pihak khalayak yang ikut
mendukung dan menentukan nasib sebuah seni tradisi, maka kelangsungan hidupnya
untuk bertahan terus belum perlu dikhawatirkan. Akan tetapi, dari segi
pewarisan penampil, dikhawatirkan tradisi ini tidak dapat bertahan lebih lama
lagi. Kekhawatiran itu muncul, mengingat pewarisan tradisi ini tidak berjalan
dengan lancar, terutama dalam hal “ronggeng”. Jika, tidak terjadi pewarisan
dari generasi penampil yang ada sekarang kepada generasi di bawahnya, maka
tradisi ronggeng Pasaman ini akan hilang pula bersamaan dengan hilangnya
(meninggalnya) para penampil, khususnya “ronggeng” yang ada sekarang ini.
Barangkali, ada beberapa hal yang diperkirakan dapat menyebabkan
mengapa pewarisan tradisi ronggeng Pasaman ini berjalan dengan kurang lancar.
Pertama, anak muda atau pemuda sekarang ini merasa enggan apabila harus tampil
dalam pakaian dan dandanan wanita. Keengganan ini lebih pada diri sendiri,
karena merasa malu dan takut dikatakan masyarakat, terutama penonton (khalayak)
sebagai seorang `banci’. Hal ini diperkuat oleh pernyataan seorang “ronggeng”,
bahwa ia merasa hina menjadi “ronggeng” bila berhadapan dengan masyarakat dalam
keseharian. Namun, ditambahkannya, perasaan itu akan hilang beberapa saat
menjelang pertunjukan.
Jika dilihat dari sisi masyarakat pendukungnya,
perasaan malu dan takut tadi kurang beralasan. Dikatakan demikian, karena
masyarakat sendiri, apalagi penonton (khalayak) tidak memandang dan tidak
menganggap pekerjaan sebagai “ronggeng” itu rendah atau hina. Seorang
“ronggeng” itu tetap dapat diterima dan dapat melakukan pekerjaannya sebagai
layaknya seorang laki-laki normal. “Ronggeng” itu hanyalah sebagai pekerjaan
sampingan saja, maka ia tetap dapat melakukan pekerjaan yang lain sebagai mata
pencahariannya, seperti bertani dan menambang emas.
Kedua, mereka itu hampir dapat dikatakan tidak
mempunyai kemampuan dan tidak mempunyai kemahiran, serta tidak berminat dalam
mencipta dan menggubah pantun secara spontan. Padahal, kemampuan dan kemahiran
dalam mencipta dan menggubah pantun merupakan syarat utama bagi seorang
“ronggeng’.
Transmisi
Ronggeng
Dalam bahasa Minangkabau tidak dikenal dan tidak
ditemukan adanya kata `ronggeng’. Oleh karena itu, dapat dipastikan bahwa kata
“ronggeng” berasal dari tradisi yang ada di Jawa, khususnya Sunda. Demikianlah,
menurut Pak Usman, salah seorang pensiunan penilik kebudayaan di Pasaman Barat,
tradisi ronggeng Pasaman mempunyai hubungan dengan tradisi ronggeng di Jawa
(Sunda). Tentu saja, hubungan yang dimaksudkannya adalah bahwa tradisi
ronggeng Pasaman berasal dari tradisi ronggeng di Jawa (Sunda). Bagaimana awal
mula terbentuknya hubungan itu?
Berkenaan dengan pernyataan dan pertanyaan di atas,
ada beberapa pendapat mengenai bermulanya tradisi ronggeng Pasaman ini.
Pertama, ronggeng dibawa atau didatangkan dari Jawa oleh tentara Belanda untuk
menghibur para pekerja di perkebunan karet. Kedua, ronggeng itu diperkenalkan
oleh para pekerja perkebunan yang didatangkan dan berasal dari Jawa untuk
menghibur sesamanya setelah lelah bekerja pada siang hari. Kedua pendapat
tersebut di atas mempunyai peluang untuk dapat diterima. Alasannya, jika
ronggeng itu didatangkan langsung dari daerah asalnya, Jawa, maka penampil
`wanita’ atau `ronggeng’ itu adalah wanita dalam pengertian yang sebenarnya.
Barangkali saja, dalam lingkungan perkebunan, memang seorang wanitalah yang
menjadi `ronggeng’. Jadi, makna `ronggeng’ itu sama dengan yang ada di daerah
asalnya. Lamakelamaan, ia beradaptasi dengan lingkungan budayanya yang baru,
atau ia diambil alih oleh lingkungan kebudayaannya yang baru, dengan cara
menyesuaikannya dengan budayanya yang baru, yaitu budaya Minangkabau, terutama
dalam hal “ronggeng” dan pantun.
Dalam budaya Minangkabau (berdasarkan agama dan adat)
tidak dihalalkan seorang perempuan (wanita) tampil dimuka umum, apalagi menari
dan berjoget dengan laki-laki. Seorang perempuan mempunyai kedudukan yang
terhormat dan mulia berdasarkan agama (Islam) dan adat. Jadi, mempertontonkan
wanita dalam suatu pertunjukan tradisi masyarakatnya dianggap sebagai sesuatu
perbuatan yang tabu. Oleh karena itu pula, dalam seni tradisi Minangkabau lakon
wanita itu diperankan oleh laki-laki.
Namun, pendapat yang pertama dengan alasan-alasan di
atas kurang dapat diterima, karena menurut Pak Usman, dalam kenyataannya dari
dulu sejak ronggeng dikenal di daerah Pasaman sampai sekarang “ronggeng” itu
adalah seorang pria. Dengan begitu, pendapat yang tersebut kedua lebih dapat
diterima. Dengan kata lain, para pekerja perkebunan yang berasal dari Jawalah
yang berkemungkinan besar memperkenalkan tradisi itu, dan ketika diperkenalkan
itu, ia langsung disesuaikan dengan budaya yang baru, yaitu budaya Minangkabau.
Jadi, sejak ronggeng itu diperkenalkan oleh para pekerja
itu, sejak itu pula ia menjadi bagian yang khas dari tradisi yang dimiliki oleh
masyarakat Pasaman, khususnya Pasaman Barat, sampai sekarang ini. Ronggeng
Pasaman tidak sama atau sama sekali berbeda dengan ronggeng Jawa. Mengapa
demikian? Pantun sebagai unsur utama atau unsur inti dalam ronggeng Pasaman
menunjukkan kenyataan itu. Selain itu, bahasa yang digunakan dalam ronggeng
Pasaman ini, yakni bahasa Minangkabau dan atau campuran bahasa Minangkabau
dengan bahasa Mandailing, memperkuat pemyataan di atas. Apalagi, irama musik
pengiringnya adalah irama musik Melayu dan “ronggeng”nya adalah seorang pria
berpakaian wanita.
Sumber